write and share : petikan novel gagal(2)

beberapa saat sebelum kejadian di villa

Kami berjalan perlahan menembus dinginnya udara malam. Langkah-langkah kecil kami menyusuri jalanan batu yang tidak rata. Disusun secara sembarangan tanpa memperdulikan kerapian. Tapi memang seperti itulah seharusnya. Semerawut tetapi pas!

Jalan setapak itu menghubungkan bagian belakang villa dengan jalan raya. Malam itu adalah malam perpisahan kelas kami. Akhirnya! Setelah tiga tahun belajar membanting tulang hanya untuk sebuah status kelulusan yang belum bisa dijadikan pegangan hidup.

Kami lulus SMU. Tapi bukan berarti tugas belajar kami berakhir, kami masih bisa dan harus belajar lagi. Banyak orang bijak dan sok bijak bilang bahwa hidup ini adalah pembelajaran, selama kita hidup kita selalu bisa belajar apa saja, dimana saja dan dari mana saja. That’s not the point! Yang aku maksud adalah kami –khususnya aku– harus lanjut lagi ke bangku kuliah. Tahu sendiri kan, sekarang ini cari pekerjaan sulitnya minta ampun, apalagi hanya mengandalkan ijasah SMU. Belajar dari kehidupan? Tidak akan berakhir dengan beberapa huruf tambahan di belakang nama kita yang –salah satu alasan mengapa keadaan negara kita tercinta ini tetap terpuruk– terbukti lebih dihargai dibandingkan kemampuan yang kita miliki.

Lagipula Papaku pinginnya aku nerusin kuliah kedokteran. Meneruskan bisnis keluarga. Menjadi dokter, supaya bisa nolongin orang sakit. Tentu saja di atas niat suci itu ada tujuan lain yang lebih manusiawi. Uang! Status sosial!

Sebenarnya aku gak tertarik kuliah kedokteran apalagi berprofesi menjadi dokter. Aku sama sekali bukan orang yang punya bakat menjadi seorang dokter, rumah sakit adalah tempat kedua di seluruh dunia ini yang paling tidak ingin kudatangi. Yang pertama adalah kantor polisi…

Aneh memang, tapi aku punya penyakit yang gak bisa disembuhkan oleh ayahku yang dokter ampuh sekalipun. Aku takut polisi! Aku tidak tahu apa istilahnya –policephobia mungkin?–, bahkan aku juga tidak yakin kalau ada penderita lain selain aku. Sering aku dengar ada orang yang punya rasa takut berlebihan terhadap ketinggian, takut gelap, takut sama ayam, bahkan ada juga temanku yang takut sama kecoa. Tapi takut polisi? Aku hampir 100% yakin aku adalah satu-satunya.

Tidak jelas sejak kapan, kenapa dan bagaimana aku bisa punya ketakutan seperti ini. Sepanjang yang aku ingat, aku selalu takut melihat polisi, bahkan waktu kecilpun aku selalu nangis kalau melihat polisi di pinggir jalan –bukan berarti hanya yang di pinggir jalan saja, yang di tengah jalan, di warung, di…pokoknya polisi!!

Sampai sekarang tubuhku selalu gemetaran, panas dingin setiap kali melihat polisi. Bahkan tidak jarang, tubuhku mengalami paralysis untuk beberapa menit kalau ada polisi dalam radius 5-10 meter. Untuk menghindari kelumpuhan seperti itu tentu saja aku sudah punya resepnya, yang adalah : tidak ada polisi yang memasuki zona amanku, dan khusus buat bapak-bapak dan ibu-ibu polisi –maaf berjuta maaf–, my safe zone adalah sejauh mata memandang.

Kembali ke phobiaku yang kedua : hospital! Kalau phobia sih sebenarnya bukan, tapi aku benar-benar merasa tidak nyaman kalau berada di lingkungan rumah sakit. Bau obat, aroma lantai yang habis dipel, keluarga pasien mondar-mandir dengan wajah kusut, ada juga yang tidur malang-melintang di tepi selasar beralaskan tikar atau kertas-kertas koran. Dokter muda dan suster-suster yang sambil bercanda mendorong kursi ataupun tempat tidur dorong berisi pasien kritis, membuat diri mereka seolah-olah seperti anak kecil yang mendorong mainan mobil-mobilan dengan melakukan manuver-manuver diantara kemacetan lalu lintas manusia yang hilir-mudik. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak suka berada di rumah sakit!

Aku sebenarnya lebih tertarik mempelajari ilmu jiwa, psikologi. Itulah minatku sebenarnya. Mungkin juga terdorong karena policephobia yang kuidap. Tapi memang aku suka dengan segala yang berbau psikologi. Novel, film, teater, pokoknya yang berbau psikologis. Hide and Seek adalah salah satu film favoritku. Di situ aktor Robert De Niro berduet dengan Dakota Fanning, keduanya bermain sangat apik. Cerita mengalir tanpa dapat diduga. Aku sama sekali gak menduga kalau tokoh David Callaway yang dimainkan oleh Robert De Niro ternyata memiliki dua kepribadian. Dari awal, penonton diberi adegan-adegan yang mengarah bahwa Dakota Fanning yang bermain sebagai Emily-lah yang tidak normal, karena memiliki teman khayalan yang benar-benar diyakini keberadaannya. Sampai akhirnya, kesimpulan tersebut dihantam dengan fakta bahwa kepribadian kedua sang ayahlah yang sebenarnya menjadi “sang teman khayalan” tanpa dia sendiri sadar. Sang teman khayalan ternyata sama sekali bukan khayalan. Benar-benar thriller psikologis yang dikemas dalam alur cerita yang sangat menghibur.

Selama ini banyak sudah aku menyimak cerita-cerita yang berbau psikologis baik dari film, ataupun novel. Dan aku sangat menyukainya. Karena itu aku pingin belajar lebih jauh lagi tentang jiwa manusia, tentang perilaku manusia, tentang keanehan-keanehan perilaku manusia –yang bukan hanya sekedar dongeng– beserta penyebab dan alasannya.

Selain itu, bukankah menjadi seorang psikologpun aku dapat menolong orang? Aku dapat membantu mereka yang “sakit” sama saja dengan dokter. Bahkan dari jurusan kedokteranpun, dapat meneruskan mengambil jurusan profesi sebagai seorang psikiater. Tapi tetap saja papaku ngotot pingin aku menjadi seorang dokter spesialis –selain spesialis jiwa, tentu saja!

Angin berhembus ke tubuh kami, membuat tubuhku sedikit menggigil kedinginan. Aku rapatkan tubuhku ke tubuh tinggi kurus yang berjalan pelan di sebelahku. Dengan penuh pengertian dia merangkulkan tangannya yang kurus tetapi kuat, menarik tubuhku lebih merapat lagi. Rasa dingin yang menghinggapi dan berlindung di tubuhku berangsur-angsur menghilang diusir oleh kehangatan tubuh pasanganku. “Terima kasih…” Dia menjawab dengan kecupan ringan di keningku dan menarik tubuhku lebih erat lagi.

Entah berapa lama kami berjalan sambil berangkulan seperti itu. Yang aku tahu kami sudah cukup jauh dari villa tempat kami menginap. Tapi apa peduliku? Selama bersama Wisnu, aku baik-baik saja.

Wisnu adalah orang yang sekarang ini sedang memelukku. Memeluk tanpa kata-kata, hanya memeluk sambil berjalan pelan di sepanjang jalan. Beberapa saat lalu kami melewati satu lokasi yang cukup ramai dengan anak-anak muda yang sedang berpesta, menghabiskan malam minggu dengan mabuk-mabukan di daerah wisata ini. Mengganggu orang-orang yang lewat terutama cewek-cewek yang sedang jalan-jalan bersama teman, keluarga, maupun pacarnya.

Kamipun tak luput dari gangguan dan kata-kata mereka, tapi kami sama sekali tidak perduli sama mereka. Sedikitpun Wisnu tidak bergeming, bahkan melirik ke arah mereka pun tidak. Tanpa mengubah irama langkah, tanpa mengalihkan arah langkah, kami tetap berjalan dengan pasti menuju ke apapun yang sedang menunggu kehadiran kami berdua.

Kurang lebih satu jam kami berjalan tanpa arah tujuan yang jelas, hanya berjalan menyusuri jalan yang terbentang di depan kami. Jalanan berbatu, jalan beraspal, jalan setapak, kami lewati semua tanpa banyak pertimbangan akan kemana jalan ini membawa kami. Seolah kaki-kaki kami tahu jalan mana yang terbaik dan menuntun perjalanan kami dengan sendirinya.

Beberapa kali terlihat kilatan cahaya petir yang membuat keremangan yang menyelimuti kami menghilang untuk sesaat. Hanya sesekali saja, tetapi seiring dengan angin yang berhembus semakin kencang dan dingin, kilatan itu semakin sering. Mempermudah langkah kami….

Kilatan-kilatan petir itu membawa anganku melayang menuju ke dunia khayal, disana kulihat aku dan Wisnu berjalan pelan dengan senyum di wajah, layaknya sepasang pengantin yang sedang berjalan menuju pelaminan dengan jepretan kamera dari sanak keluarga. Di lamunanku aku melihat betapa Mamaku memakai kebaya warna biru yang indah sekali. Dengan hiasan renda-renda di sekitar kerahnya. Ayahku tidak memakai beskap, pakaian resmi pria Jawa. Dia menggunakan jas warna hitam yang membuatnya menjadi gagah sekali. Kacamatanya memantulkan cahaya kamera, membuat sosok tinggi kurus itu terlihat sedikit misterius –beliau jadi mirip tokoh berkacamata dalam film-film kartun. Mereka tersenyum padaku…

Lamunanku dibuyarkan dengan suara petir yang membahana dan guyuran hujan yang datang tiba-tiba dengan derasnya. Untuk pertama kalinya –dalam satu jam terakhir– kami berdua mulai saling pandang, Wisnu berkata padaku setengah teriak bahwa sebaiknya kami cari tempat berlindung karena hujan yang turun demikian lebatnya. Aku mengangguk dan irama langkah yang berhasil kami pertahankan selama kurang lebih satu jam mulai kacau, kami mempercepat langkah kami. Setengah berlari Wisnu menarik tanganku menuju ke sebuah teras rumah –di kejauhan– yang terlihat kosong.

Rumah yang cukup besar dengan teras yang terlihat sangat nyaman, beberapa buah kursi dan sebuah meja kayu kecil berada di salah satu sudut teras. Aku sudah membayangkan, kami berdua akan berteduh di teras nyaman itu duduk di kursi-kursi yang dari jauh terlihat sangat menggoda dan nyaman. Tapi setelah kami mendekat ternyata rumah itu memiliki pintu gerbang besi yang terkunci dari dalam, tentu saja tidak mungkin bagi kami untuk melompat masuk. Teras yang nyaman tinggal khayalan. Di depan mata tetapi tidak bisa kami nikmati.

Terpaksa kami harus cukup puas berteduh di bawah gapura beratap seng yang menaungi pintu setinggi dada kami itu. Kami merapatkan tubuh ke pintu sebisa mungkin, supaya hujan tidak mengenai kami. Hujan sederas itu…. Tidak mungkin bisa kami berlindung darinya hanya mengandalkan atap seng kecil yang malah sudah banyak bocornya itu.

“Dingin?” Wisnu mengusap rambutku yang basah kuyup.

“Lumayan…” kataku mencoba untuk menghibur Wisnu yang khawatir melihat tubuhku menggigil. Tetap saja dari gemelutuk gigiku yang saling beradu, dia tahu kalau rasa dingin yang melandaku jauh lebih dari sekedar lumayan.

“Kita tunggu aja sebentar lagi, paling bentar lagi juga reda…” dari wajahnya aku tahu kalau dia sendiri juga tidak yakin dengan prediksinya.

“Nu, ada orang!” aku berbisik memberitahukan Wisnu. Di sana, di bagian belakang    –beberapa ratus meter dari kami– yang menjadi satu-satunya indikasi adanya kehidupan di villa dengan lampu yang menyala, terlihat sosok gelap yang tidak begitu jelas. Lampu neon yang berkedip-kedip berada sedikit di belakang orang itu, membuat kami tidak bisa melihat wajahnya. Hanya terlihat sebuah siluet hitam, menampakkan figur yang tinggi besar, dengan tubuh yang terlihat tegap dan menakutkan. Aku jadi teringat film-film thriller yang sering kutonton. Banyak sekali film-film bergenre itu menampilkan adegan seperti ini.

Siluet hitam, tanpa terlihat wajahnya, tidak jelas sosoknya. Hanya siluet hitam. Persis seperti yang aku lihat saat ini. Sosok itu lalu menghilang di balik tembok, sesaat jantungku mulai berdebar normal. Tetapi tidak untuk waktu yang lama!

Sosok orang yang tidak jelas itu menampakkan dirinya lagi, muncul dari balik tembok dengan tiba-tiba.

Gawat!

Sosok itu bahkan mulai mendekati kami, dia tampak jauh lebih besar dan menyeramkan…. Jas hujannya melambai terkena angin…

Jantungku semakin berdebar kencang. Bahkan aku bisa mendengar detaknya di antara gemuruh hujan.

Tempat itu cukup terpencil, bahkan dari tadi kami tidak melihat ada rumah lain di daerah itu. Sekuat apapun aku teriak tidak ada orang yang akan mendengar, apalagi dengan hujan sederas ini. Teriakanku tidak akan membuat pertolongan datang. Hanya menyakitkan tenggorokan saja.

Lari! Wisnu, lari! Tapi Wisnu diam saja, tidak bergerak. Dia hanya mempererat pelukannya. Sekarang orang itu sudah berada tepat di depan kami, hanya terhalang pagar setinggi dada.

Perlahan orang itu merogoh kantong jas hujannya, mencoba untuk mengambil sesuatu.

Pasti pisau, golok, atau….

Pistol! Ternyata dia mengeluarkan pistol dari saku jas hujannya. Dan dengan gerakan yang sangat mengintimidasi dia mengacungkan pistolnya ke arah kami. Pistol itu menyentak dua kali dan tubuh kami terkapar di tanah yang basah oleh air hujan dan darah dari tubuh kami…..

Tapi, tentu saja itu tidak terjadi. Adegan seperti itu hanya akan terjadi dalam novel-novel karya Agatha Christie atau penulis-penulis cerita thriller lain. Atau juga dalam film-film.

Tidak dalam kehidupan nyata!

Orang itu sama sekali tidak mengeluarkan pistol ataupun alat pembunuh lain, dia hanya mengeluarkan untaian kunci-kunci yang diikat dengan tali rafia.

“Hujan selebat ini jangan berteduh disini. Bisa sakit nanti” dia menjelaskan kalau dia adalah penjaga villa sambil mencari-cari kunci yang cocok. Ternyata bagian belakang villa memiliki kamar-kamar yang disewakan. Dia bahkan menawarkan kepada kami sebuah kamar untuk berteduh.

“Murah, mas! Daripada kehujanan disini, bisa sekalian nunggu hujan reda mas… Nginap juga bisa. Ada waterheater-nya mas. TV juga ada…” akhirnya dia berhasil menemukan kunci yang pas dan pintu yang menghalang di antara kami terbuka.

“Gimana, Mas? Kasihan pacarnya kalau sakit…” Wisnu menengok kearahku yang memang sedang kedinginan berat. Membayangkan mandi air hangat, berteduh dengan ditemani acara TV sambil menunggu hujan reda. Sama sekali bukan ide yang buruk.

Aku mengangguk…

baca cerita sebelumnya

22 Responses to “write and share : petikan novel gagal(2)”

  1. wih, panjang juga yah simak dulu ahhhh belum bisa kasih komen

  2. Ceritanya panjang banget, dibacanya bersambung juga deh..

  3. blue senang jika abang memeberikan sebuah suguhan yang menyenangkan untuk ita baca
    salam hangat selalu

  4. __salamsoree^^…salamsastra daribri….__

  5. Tamat…atau ada bagian ke 3?

  6. waaaa…penulis ya??
    cerpen niy ato cerbung? 🙂
    dijadiin novel aja..

  7. Kayaknya sambungannya masih panjang ya…

  8. lumayan bagus kok ceritanya. kenapa judulnya pake ‘gagal’? pede aja lagi kalau nulis ituh 😀

    • gagal karena novelnya gak tak lanjutin lagi. yang diposting ini cuma beberapa adegan aja, novel keseluruhannya mandeg produksi. udah keburu ilang mood bung!
      btw. masukannya bagus tuh. thx ya? 🙂

  9. biar panjang, kalo ceritanya bagus nggak berasa juga, ditunggu lanjutannya bung!

  10. koq kasusnya sama denganku yak..? sama-sama suka ilmo..ilang mood

Trackbacks

Tinggalkan Balasan ke ruanghatiberbagi Batalkan balasan