Dia terlahir tanpa nama, sepanjang yang dia ingat orang-orang memanggilnya dengan sebutan Tattoo. Dia tidak tahu kapan dan siapa yang membuat gambar itu di punggungnya. Sepanjang yang dia ingat, gambar itu sudah melekat di sana.
Hanya bisa hilang kalau dia mati…
Dia tidak punya rumah. Sepanjang yang dia ingat, jalanan adalah tempat teraman baginya. Saudara dan teman, dia tak punya. Hanya sekumpulan setan di punggung sajalah sahabat terdekatnya.
“Wujud mereka memang setan, tapi mereka adalah pendengar yang baik, tak pernah mengeluh dan sok menggurui. Hanya mendengar, itulah yang aku butuhkan”
“Aku pernah membunuh”, katanya kepada para setan yang diam mendengarkan penuh perhatian.
“Dua kali. Dan aku selalu lolos dari kejaran polisi. Mungkin mereka bodoh, tapi mungkin juga mereka takut padaku. Siapa yang tahu?”
Dia tidak menyesal, karena dengan membunuh dia bisa hidup!
Tapi semua berubah,
Wanita itu cukup berani untuk menyapanya. Dan hal ini membuat Tattoo merasakan cinta. Sampai akhirnya setelah berdiskusi dengan para setan di punggungnya, Tattoo melamar sang wanita pemberani.
Pernikahan yang sederhana, tapi Tattoo merasa bahagia. Dia merasakan bahwa hidup ternyata tak seperti yang dia ketahui selama ini.
Kebahagiaannya semakin lengkap setelah sang wanita pemberani melahirkan seorang anak. Demi sang anak, Tattoo menutupi punggungnya dan dia mulai bekerja sebagai seorang buruh di sebuah pabrik. Layaknya manusia biasa. Penghasilannya kecil, tak sebanyak yang biasa dia dapat dari jalanan. Tapi demi anak, Tattoo ingin mulai hidup halal.
Tattoo tak ingin lagi membunuh…
Tapi malam itu, mereka melihat Tattoo berjalan keluar dari rumah sambil menggendong bayi mungilnya. Mereka tak berani menyapa apalagi menegur, karena Tattoo berjalan pelan dengan punggung telanjang.
Dan di dalam kamar, sang wanita pemberani tergolek bersimbah darah di atas pembaringan. Sementara tubuh tanpa kepala seorang pria penuh luka menganga, tergolek di atas lantai semen. Keduanya telanjang.
Potongan kepala itu tergantung di teras depan, terayun-ayun pelan menakutkan. Mulut menyeringai, mata membelalak. Bukan sebuah ekspresi kesakitan, tapi ekspresi takut dan ngeri. Entah apa yang dia lihat sebelum kematian menjemput.
Tattoo berjalan pelan. Matanya bersinar tajam, menantang mentari pagi hari. Terdengar sayup gemerisik suara para setan di punggungnya.
“Tattoo sudah kembali…”, bisik mereka.
Tattoo berjalan pelan. Sepasang tangannya memeluk sang bayi yang tak menangis, walaupun baru saja kehilangan ibunya yang terlalu pemberani.
Bayi cilik itu hanya menatap melalui punggung bertattoo ayahnya.
hanya sebuah coretan dari imajinasi yang meliar…