“Coba mas bayangkan sendiri…mereka membuatku jadi ajang taruhan. Siapa yang bisa menjadi pacarku dialah yang menang, dan mas tahu apa hadiah bagi pemenang? Sebungkus rokok jisamsu mas. Sebungkus rokok yang akan mereka ‘join’, sebatang mereka hisap sama-sama kemudian setelah habis mereka buang dan mereka injak-injak supaya apinya padam. Itulah ‘harga’ yang mereka berikan kepadaku.”
Itulah kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan. Diiringi dengan air mata yang menetes dan diucapkan di antara deretan isak tangis.
Melihat seorang gadis cantik dan seksi (sebut saja dia gadis) seperti itu menangis sedih di hadapanku, membuat hatiku tertusuk. Bukan hanya karena kasihan tapi juga karena malu dan menyesal.
Memang aku tidak ikut dalam taruhan seperti yang disebutkan gadis ini. Tapi peserta taruhan adalah teman-temanku. Lebih jauh lagi aku ikut hadir saat mereka merencanakan taruhan ini. Tentu saja aku tahu.
Waktu itu tahun ajaran baru, dan seperti biasa para senior mulai pasang mata mengawasi anak-anak baru. Dan gadis di depanku ini adalah salah seorang yang paling menonjol, dan banyak yang naksir. Oleh karena itulah para penaksir ini membuat semacam taruhan untuk mendapatkan sang gadis cantik. Mereka pikir daripada rebutan dan saingan tidak sehat, lebih baik bikin saingan yang sehat. Dan taruhan itulah jalan yang mereka pikir ‘sehat’.
Waktu itu bukan saatnya untuk istirahat, tapi seperti biasa para begundal sekolah (dan aku termasuk di antara mereka) yang sama sekali tidak bisa menghargai arti pendidikan dan perjuangan orang tua yang menyekolahkan mereka dengan biaya yang tidak murah itu berkumpul di pojokan kantin. Merokok.
Di situlah rencana taruhan itu dibuat. Rencana yang waktu itu aku anggap biasa saja, dan tidak terpikir sama sekali akan membuat sang gadis idola menjadi sakit hati.
“Ikutan nggak?”, tanya seorang teman padaku yang sedang asik menghisap rokok dalam-dalam.
“Malas ah…nggak penting…” jawabku sembari menghembuskan asap pembunuh paru-paru ke muka teman di sebelahku.
“Bilang aja takut kalah…”
“Aku nggak ikut malah gara-gara aku kasihan sama kalian. Kalau aku ikut kalian nggak punya kesempatan dong. Iya kan?”
“Kamu dapat info ini dari siapa? Jangan-jangan cuma bohongan?”, tanyaku kepada gadis.
“Ada yang bilang dan saya yakin dia nggak bohong…” jawabnya. Air mata masih menetes di pipi, isak tangis masih mengganggu aliran udara ke paru-paru.
“Oke, berarti semua setuju ya? Terus hadiahnya apa? Namanya lomba ya pasti ada hadiahnya kan?”
“Hadiahnya ya si gadis itu. Pemenang dapetin si gadis mau apa lagi?”
“Kurang seru dong! Rokok aja, yang mahal sekalian…”
“Jisamsu!!”
Dan saat itu dari kejauhan terlihat seorang guru menuju ke arah kami sambil teriak. Seperti biasa pula, rokok segera kami buang dan kamipun lari tunggang langgang ke segala arah. Seperti biasa kalau ketahuan, aku lari dan melompati pagar.
Aman…walaupun besok juga pasti dipanggil kepala sekolah lagi. Ah, itu urusan besok. Yang penting hari ini selamat…
Hari sudah malam ketika kami pamit dari rumah gadis. Temanku terlihat lesu dan pendiam, padahal dia ini biasanya paling cerewet di antara kami.
“Kamu kenapa? Kan tadi minta diantar ke rumah gadis? Sudah saya antar, kok kamu malah kelihatan sedih gitu? Nggak menghargai jasa orang itu namanya…”
“Anjing! Bisa diam nggak?!!”
Aku tak menjawab dan hanya konsentrasi menghindari lubang-lubang jalanan dengan motor bututku. Di belakang, temanku duduk membonceng dalam diam.
“Jik…”, panggilnya tiba-tiba…
“Apa?”
“Aku nyesel ikut taruhan itu…”
Aku hanya tersenyum, yah paling tidak sampai seorang polisi menghentikan kami gara-gara kami tidak pakai helm, dan karena kondisi motorku yang ‘telanjang’. Malam-malam gini kok ada juga polisi iseng? Dasar nasib lagi apes…
“Namanya juga anak muda, Pak. Kalau pakai helm gatal…” jawabku asal, karena temanku hanya bengong…