Inilah tempatnya. Tak salah lagi.
Tempat yang sudah kami sepakati bersama.
Pagi yang cerah. Lalu lalang manusia melintas dengan senyum cerah di wajah. Mungkin mereka juga berpikir sama dengan aku. Bahwa hari ini adalah hari yang penting.
Sepagi ini sudah terlihat banyak kegiatan di jalan yang aku lalui ini. Para pedagang kaki lima sudah sibuk membuka kiosnya. Anak-anak jalanan bersimbah debu sibuk bermanuver di antara padatnya mobil, sambil mengacungkan tangan memohon sedekah. Ada yang nekad menempelkan wajah di kaca mobil, entah saking putus asanya atau salah satu strategi agar pengendara merasa terganggu sehingga dengan cepat memberikan sedikit uang receh agar mereka segera pergi.
Tempat yang aku tuju adalah Rumah Makan West, salah satu tempat makan yang buka selama 24 jam. Dan seperti yang sudah aku duga, sepagi ini tempat itu sudah lumayan ramai, terlihat dari kaca bening yang menghadap ke jalan.
Aku mantapkan langkah kakiku menuju ke pintu masuk Rumah Makan. Seorang pelayan menyambutku dengan senyum ramah, dan mengucapkan selamat datang. Pelayanan yang bagus.
Aku asing di kota ini, tapi aku yakin bahwa tempat inilah yang mereka maksud. Sedikit ragu aku masuki Rumah Makan itu. Dan menuju sebuah kursi kosong yang ditunjukkan oleh pelayan.
“Kopi panas…”, kataku ketika pelayan menanyakan pesananku.
“Ada yang lain, Pak?”, aku menjawab nanti aja. Dan pelayan itu pergi.
07.45. Limabelas menit lagi tugasku dimulai. Segalanya akan terjawab sudah, atau malah akan muncul pertanyaan baru? Masalah baru? Apakah limabelas menit lagi akan terselesaikan atau bahkan baru akan dimulai? Sabar…sebentar lagi…
Kursi yang aku duduki berada di tepi jendela, sedikit di sudut. Dari sini aku dapat melihat lalu lalang pengunjung yang keluar masuk restoran.
Ya! inilah tempat itu. Tempat yang dijanjikan. Aku yakin.
Sepasang muda-mudi terlihat bergandengan mesra memasuki ruangan, dan duduk tak jauh dariku. Sepagi ini sudah berduaan bisik hatiku. Pengantin barukah? Atau pasangan selingkuh? Ahhh…bukan urusanku.
“Tentu saja ini urusanmu!”, terisak isteriku setengah berteriak.
“Mengapa akhir-akhir ini engkau berubah? Kamu sudah jarang berada di rumah, selalu bekerja sampai berbulan-bulan tanpa kabar jelas. Anak-anak selalu bertanya dan aku tidak pernah bisa menjawab, karena aku sendiri juga tidak tahu apa-apa”, suara tangis di balik telpon itu menyayat hatiku. Tapi aku punya tugas lain yang lebih penting daripada sekedar berada di rumah, dan seharusnya dia tahu itu. Pekerjaan ini juga demi mereka. Demi kebahagiaan mereka.
“Aku tidak minta maaf padamu, karena aku memang tidak bersalah. Kamulah yang seharusnya mengerti…”
“Mengerti apa? Kamu tidak pernah bercerita apapun padaku. Bagaimana aku bisa mengerti?!!”
“Sudahlah! Uang sudah aku kirim, besok bisa kamu ambil”
“Bukan uang yang kami butuhkan, tapi kehadiranmu di sini….”
“……..nanti aku telpon lagi”
Rekaman percakapan itu terulang lagi di telingaku. Aku cinta kamu isteriku tapi kalian harusnya paham…
Kulihat seorang laki-laki bule melenggang masuk sambil berbicara melalui telepon genggamnya. Kaku, tapi bahasa indonesia yang dia ucapkan cukup jelas terdengar.
“Ya…ya, katakan pada Mister Santosa, proposalnya sudah aku baca dan ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan dengan dia…”
Bisnis…
Aku di sini juga untuk urusan bisnis. Ada sebuah proyek besar yang harus aku tangani. Proyek terbesar dalam hidupku, dan saat tugas ini selesai, aku yakin segalanya akan jauh lebih baik…
“Kami berharap kepadamu. Dari sekian banyak orang yang ada, kami pilih kamu karena kami yakin bahwa kamu sudah siap dan kemampuan yang kamu miliki sudah cukup untuk tugas ini. Kamu paham bukan? Jangan mengacaukan rencana kita!”
Baru pagi tadi setelah sholat subuh aku menerima telepon itu. Tentu saja aku tidak akan gagal! Lihat saja nanti, saat semua selesai kalian akan kagum kepadaku. Dan aku akan dapat dengan bangga berteriak “Inilah aku! Pahlawan kalian!”
07.55. Lima menit lagi. Aku tersenyum. Sedikit adrenalin memasuki rongga kepalaku, menimbulkan sensasi ketegangan yang mengasikkan. Aku cek sekali lagi. Segalanya sudah siap. Rencanaku memang benar-benar sudah matang.
Aku kembali dalam lamunanku, kali ini aku alihkan pandanganku ke luar jendela. Menerawang. Jauh.
Aku lemparkan kenanganku ke suatu tempat yang jauhnya berpuluh-puluh kilo meter dari sini. Kampung halamanku…
Banyak sudah peristiwa aku alami, baik, buruk, susah, senang. Penuh warna, dan tak ada sedikitpun penyesalan. Kecuali satu. Wanita itu…
Setiap kali selalu sama. Bayangan wanita yang berdiri di depan pintu, dengan bibir tersenyum mengucap doa, dan genangan air mata meleleh di pipi menandakan rasa ikhlas yang terpaksa, kala melepas kepergianku.
Bayang wanita setengah baya
yang aku tinggalkan sepuluh tahun lalu
Sudah aku coba untuk menghubungi beliau,
tapi kegiatanku terlalu padat
dan aku berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan
untuk menghubungi siapapun.
Pun saat aku menikah, dua tahun setelah aku pergi dari kampung. Beliau tidak dapat aku hubungi. Aku tidak bisa!
Sekarang, menjelang 8 tahun pernikahanku. Aku sudah dikaruniai dua orang anak yang lucu. Satu laki-laki berusia 6 tahun, dan seorang gadis cilik berusia 3 tahun. Senyum pahit muncul di wajahku mengingat kedua malaikat kecilku itu.
Maafkan ayah, nak….
Bayangan wanita itu muncul kembali di benakku,
“Jangan lupa kasih kabar kalau kau sudah sampai di jakarta. Hati-hati!”
Permintaan yang sederhana, tapi tak mampu aku penuhi permintaan sederhana itu. Permintaan dari seorang ibu.
Rasa ini, menusuk jantung
Menguapkan asap ke rongga dada
Membuahkan isak
Rasa ini, rindu, penyesalan…
Maafkan aku ibu!
Aku raih telpon genggam dari atas meja. Pelan. Memang sudah terlambat sepuluh tahun, tapi aku akan tetap hubungi ibu. Untuk memohon maaf, dan restu.
Terhenyak aku sadar. Aku tak tahu nomor yang harus aku tekan. Aku bahkan tak tahu apa-apa lagi tentang ibu. Masih hidup atau sudah mati?
Rasa ini,
semakin menyeruak jauh ke dalam
Membeset jantung
mengeluarkan nanah. Perih…
Aku sandarkan kepalaku di atas meja dan menangis. Aku tak mencoba untuk menahan tangisku. Aku meraung.
Air mata menetes,
menggenang di atas meja
Menyusup masuk ke pori-pori
Mengalir di pipi, meresap melalui celah bibir.
Rasanya pahit…
Rasa ini, tak dapat pergi. Mengendap !
Rasa ini…..
Ibu, aku takut…!
Pundakku disentuh oleh seorang pelayan yang menatap cemas. Aku pandangi dia dengan mata beringas, liar. Mata seekor kelinci yang tak dapat melarikan diri dari terkaman sang harimau. Mata yang penuh ketakutan dan kenekadan…
“Nenek…”
Ruangan itu putih, bersih, dan berbau obat juga kematian. Suram. Mengerikan. Di atas sebuah dipan terlihat seorang wanita tua yang kepalanya putih. Penuh uban juga perban.
Sang nenek terdiam sejenak sebelum berbisik dengan suara serak gemetar, “Suster, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku, setelah sepuluh tahun aku mencarinya. Akhirnya aku bisa melihat wajah anakku lagi. Dia berubah, dia berbeda. Wajahnya terlihat aneh dan sedih. Tapi aku yakin…dia anakku!”
Gemetar tangannya menuding ke arah layar TV yang menampilkan sketsa wajah pelaku bom bunuh diri kemarin pagi.
Wajah nenek itu persis sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Bibir tersenyum, air mata menetes turun dari bola mata yang redup, kosong. Mata yang telah mati.
Tapi kali ini penuh keikhlasan…tanpa paksaan…
Bau itu menyeruak, menyusup melalui lubang-lubang angin. Membawa kabar kepada alam tentang kematian. Meninggalkan suster di dalam kamar, ditemani tubuh mati sang nenek yang tangannya masih menunjuk kaku, yang matanya masih basah oleh bekas air mata bahagia karena di saat terakhirnya dia mampu melihat lagi wajah putra tercintanya.
Tuhan masih sayang padaku…
*****
Sendiri, suster itu melihat berita di TV. Air mata memburamkan pandangan…
“Informasi terbaru yang kami dapat, korban meninggal dari peledakan bom bunuh diri bertambah satu lagi, yakni seorang nenek gelandangan yang kebetulan berada di depan lokasi peledakan. Identitas korban belum diketahui. Setelah sempat dirawat di rumah sakit, korban meninggal akibat luka di kepala yang diduga terkena pecahan bom….”
Seorang lelaki muda bermata tajam memandang kepulan asap menghitam dari kejauhan, aroma kematian terasa kental sekali.
Dia sedang berbicara melalui telepon genggam, “He failed, sir! At the last moment he looks hesitated and I saw that he wants to run, so i have to pressed ‘the button’.”
“Yes sir !”
Pemuda itu menyimpan telepon genggamnya dan memandang sekali lagi ke arah kepulan asap hitam sambil bergumam, “Walaupun kau gagal dalam misi ini, aku tetap akan berdoa semoga kau bahagia dengan bidadari pengantinmu saudaraku…”
*
* *
Untuk semua korban bom di manapun,
you’re the real heroes !!!
God bless you all…