Setengah meloncat wanita itu menuruni mobil yang masih berjalan pelan. Dia menangis histeris, berteriak-teriak tak jelas. Tapi kami paham maknanya…
Suara yang biasanya halus ramah saat itu terdengar parau, serak, menggetar dalam nada rendah. Sangat sumbang…
Dia berjalan terhuyung sambil memeluk anak perempuannya yang masih balita. Baru sedikit kakinya bergerak, tapi tubuhnya terasa lemas dan dia tergolek dengan balita masih erat dipelukan. Sang balita hanya melirik bingung, dia tidak tahu mengapa Ibunya menangis demikian hebat. Tapi kami tahu…kami paham…
Seorang lelaki kekar menghampiri dan memondong tubuh kelabu itu menuju ke rumah duka yang sudah tinggal beberapa meter saja. Sang balita diserahkan kepada kakaknya yang baru berusia 10 tahun.
Kami hanya memandang dalam diam, bahkan tak sedikitpun suara jangkrik terdengar. Hanya suara parau itu, yang menggetar dalam nada rendah. Mengoyak hati kami yang hanya bisa paham tanpa mampu merasakan.
Pemandangan malam itu tidak akan aku lupakan. Suara parau itu, teriakan tak jelas itu, lirikan mata bening sang balita, ekspresi wajah kakaknya. Ekspresi wajah mereka yang hanya bisa terdiam dalam haru.
Akan selalu terukir di hatiku…
Wanita itu adalah seorang isteri yang baru saja mendengar berita kematian suaminya yang tadi sore masih bercanda dengan anak-anaknya.
Bukan hanya isteri dan keluarga saja yang kaget, sedih dan setengah tidak percaya. Kami para tetangga yang langsung berkumpul begitu mendengar berita itu juga hampir tidak percaya dengan berita ini. Bahkan ada beberapa bisikan yang bertanya, “Mati tenan po ra to?” (Meninggal beneran nggak sih?)
Maklum kalau kami bingung, karena tidak terdengar sama sekali berita almarhum sakit. Setahu kami almarhum saat itu sehat walafiat dan aktif seperti biasa. Berita yang berbisik dari satu telinga ke telinga lain masih simpang siur. Ada yang bilang karena jantung, ada burung yang merngabarkan bahwa beliau kecelakaan. Tidak jelas…
Suara mesin mobil jenasah membuat bisikan-bisikan di antara pelayat menjadi senyap. Beberapa lelaki kemudian menggotong mayat yang masih hangat itu masuk ke dalam rumah.
Dan seperti yang sudah kami duga. Suara parau, serak, yang menggetar dalam nada rendah tadi kembali terdengar. Keras sekali…untuk menyambut suaminya yang pulang.
Sebuah dongeng dari almarhum ayah kembali mengiang dalam benakku. Dongeng yang berisi percakapan antara seorang cucu dan kakeknya tentang tangisan dan kematian.
“Sudahlah, cukup sudah semua tangisan yang tidak ada gunanya ini. Kematian adalah suatu kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia di dunia ini. Kenapa harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, malah merugikan dan melemahkan diri sendiri. Andaikata yang mati dapat mendengar tangisanmu, maka tangismu itu hanya merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan iba diri.”
Mendengar ucapan kakeknya, sang cucu pun tidak terima dan membantah, “Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kek! Saya tidak kasihan kepada diri saya sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!”
Tersenyum lembut sang kakek bertanya, “Coba jelaskan mengapa kamu kasihan kepada Nenek?”
“Nenek tewas! Tentu saja saya kasihan! Apalagi dia tewas karena dibunuh orang. Suatu kematian yang tidak wajar! Kematian yang terpaksa, coba kalau perampok itu tidak masuk rumah dan membunuh Nenek. Saat ini nenek pasti masih hidup dan berkumpul bersama kita!”
“Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya. Kalau saja nenek meninggal gara-gara penyakit engkau pasti akan berkata kalau saja penyakit tidak datang padanya, nenek pasti tidak mati.”
Kakek itu mengambil nafas dalam, “Cucuku, kematian merupakan kelanjutan dari kehidupan, dan tentu saja suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, kecelakaan, bencana alam, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?”
Sang cucu mengangguk dan menunduk, dia mulai dapat menangkap apa maksud dari kakeknya ini. Tapi darah mudanya bergolak dan dia bertanya lagi.
“Akan tetapi kek, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang dicintainya? Kenapa aku tidak boleh menangis? Apa orang tidak boleh bersedih kalau kematian keluarga yang dicinta?”
“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka dan menangis. Aku hanya ingin engkau membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam perasaan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah kita juga HARUS menangis? Lebih baik kita membuka mata dan melihat MENGAPA kita menangis. Coba kau jawab mengapa engkau menangis?”
Sang cucu merenung sebelum akhirnya dia menjawab, “Karena kita ditinggalkan…karena kita tidak bisa lagi bertemu dengan nenek.”
“Benar. Coba kita renungkan benar-benar, alasan kita menangis adalah karena kita merasa ditinggalkan. Bukan karena kasihan. Karena tidak ada yang perlu dikasihani dari orang yang meninggal. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya setelah meninggal nanti. Kenapa harus kasihan? Bisa saja dia akan mendapat keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan di bumi ini bukan? Satu yang jelas, kematian membebaskan nenekmu dari kesusahan dunia. Dia sudah tidak harus merasakan sedih, duka, penyakit dan banyak kesusahan lagi. Jadi alasan kasihan adalah suatu alasan yang dibuat-buat saja. “
Kakek itu diam sebentar sebelum melanjutkan, “Kita menangis karena kita kasihan kepada diri kita sendiri bukan kepada yang mati. Kita merasa iba terhadap diri kita karena kita sudah tidak bisa lagi bertemu dengan yang mati, kita merasa ditinggalkan. Aku sama sekali tidak melarang kamu bersedih dan menangis. Aku hanya ingin kamu tahu alasan kamu menangis. Yaitu bahwa kamu kasihan kepada diri kamu sendiri. Jangan mengkambing-hitamkan yang meninggal sebagai alasan kamu menangis karena kamu menangis untuk diri kamu sendiri, bukan untuk yang meninggal.
“Maksud kakek? Kalau aku menangisi kematian nenek sama saja dengan aku egois dan mementingkan diri sendiri? Dan itu berarti aku telah memanfaatkan kematian nenek untuk pembenaran dan pembelaan diri terhadap rasa sedihku..?” kata sang cucu.
“Kakek! Aku telah berdosa kepada nenek!!”
Sang kakek hanya tersenyum lembut…
Teriakan seorang teman menyadarkanku dari lamunan. Dan bergegas aku menuju ke belakang rumah duka. Untuk membantu teman-teman di bagian jayengan.
Ditulis saat lautan ingus membatu menghalangi lubang hidung, Dibaca saat warna merah membutakan mata, Diucapkan saat tenggorokan terasa sakit tuk menelan, Dipertimbangkan saat pikiran sedang timpang…
Ah! Flu memang menjengkelkan !!!